Sabtu, 09 Desember 2017

Cegah Korupsi, E-Budgeting Perlu Terus Dibudayakan

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan (kanan) bersama petugas KPK menunjukkan barang bukti uang Rp4,7 miliar hasil operasi tangkap tangan di Jambi dan Jakarta ketika konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, 29 November 2017. KPK menangkap 16 orang dalam operasi tangkap tangan, Selasa (28/11) dari pihak Pemprov Jambi, DPRD Jambi dan swasta dan mengamankan barang bukti uang Rp4,7 miliar yang diduga akan digunakan untuk suap terkait penyusunan RAPBD Provinsi Jambi tahun anggaran 2018. (Antara /Reno Esnir)
MataLensa.com, Jakarta - Peneliti Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Suparman mengatakan ada sejumlah area yang rawan terjadi korupsi di tingkat daerah. Area tersebut antara lain perencanaan anggaran, penggunaan dana hibah dan bantuan sosial, pengadaan barang dan jasa, dan jual beli jabatan.

"Pada perencanaan anggaran, kepala daerah dan DPRD bisa bersekongkol untuk memasukan anggaran, program atau proyek yang menguntungkan diri atau kelompoknya. Misalnya dibuat proyek infrastruktur jalan tertentu yang nantinya dikerjakan oleh kontraktor atau perusahaan tertentu yang notabene adalah 'orang dekat' kepala daerah atau orang dekatnya DPRD," ujar Arman di Jakarta, Sabtu lalu (9/12).

Kemudian, kata Arman pada penggunaan dana hibah atau bansos, hanya diperuntukan untuk orang, kelompok atau lembaga tertentu yang juga orang-orang dekat kekuasaan atau pendukung kepala daerah atau konstituen pada saat pilkada. Biasanya, kata dia, modus ini juga terjadi menjelang-jelang pilkada untuk mendapat simpati masyarakat agar sang kepala daerah atau orang yang dijagokan petahana bisa kembali memimpin.

"Sementara itu, modus yang sama juga terjadi pada pengadaan barang jasa dan jual beli jabatan. Pada area ini, rawan terjadi praktik suap oleh kontraktor atau pengusaha untuk memenangkan tender proyek," tutur dia.

Arman menilai banyak cara untuk mencegah terjadinya korupsi di area-area ini. Salah satunya, kata dia memanfaatkan teknologi untuk menjamin keterbukaan, transparansi dan akuntabilitas penggunana anggaran.

"Untuk menutup peluang korupsi ini, maka perlu dibuat e-budgeting dan e-procurementsehingga publik bisa mengontrol perencanaan dan penggunaan anggaran," tandas dia.

Penyebab Korupsi di Daerah
Arman juga menyebutkan beberapa penyebab maraknya korupsi di tingkat daerah. Pertama, kata dia, wabah korupsi yang melanda daerah saat ini berakar pada partai politik. Menurut dia, parpol masih menerapkan sistem sentralisasi dalam tata kelola partai dan penentuan kandidat kepala daerah.

"Bakal calon kepala daerah harus mendapat restu pimpinan pusat partai untuk bisa berkontestasi dalam pilkada. Restu ini pun harus dibayar mahal karena bakal calon kadang-kadang menggunakan jasa-jasa orang dekat pimpinan partai yang tak jarang harus dibayar. Belum bicara mahar yang kadang-kadang membuat bakal calon gagal untuk bertarung dalam pilkada," terang dia.

Selain itu, lanjut Arman, sistem rekruitmen dan kaderisasi parpol sangat rapuh. Sudah menjadi rahasia umum, kata dia parpol-parpol sering kebingungan menentukan calon kepala daerah menjelang pilkada. Alhasil, parpol pun mencalonkan figur-figur yang belum teruji kapasitas dan integritas.

"Keputusan partai pun tak jarang bersifat pragmatis, siapa yang mampu bertarung, dalam arti memiliki kecukupan finansial, dialah yang dicalonkan partai," ungkapnya.

Masih terkait partai, kata Arman, umumnya partai di Indonesia masih bersifat oligarkis, dinasti, masih tergantung pada orang tertentu atau pendiri partai. Seluruh keputusan partai, tutur dia juga pencalonan kepala daerah, sangat tergantung orang kuat partai.

"Apa yang diharapkan dari seorang kepala daerah yang lahir dari rahim yang tak ramah demokrasi seperti ini? Karena itu saya pikir, pembasmian virus korupsi di daerah harus mulai dengan reformasi partai politik," ujar dia.

Penyebab kedua, tambah dia, dinamika pra-pilkada seperti sistem rekrutmen parpol yang buruk, mahar politik dan politik uang, sangat berdampak pada perilaku kepala daerah terpilih pascapilkada. Apalagi, otonomi daerah dan desentralisasi memberikan kewenangan besar kepada kepala daerah untuk memanfaat area-area basah demi membalas jasa pendukung/pendonor saat kampanye maupun untuk memperkaya diri atau kelompoknya.

"Fenomena ini tampak dalam kasus suap perizinan, suap pengadaan barang dan jasa, dan jual beli jabatan yang doyan dilakukan kepala daerah," kata dia.

Penyebab terakhir, menurut Arman adalah lemahnya pengawasan internal dan eksternal terhadap seluruh kebijakan kepala daerah atau DPRD. Pada pengawasan internal, inspektorat tidak bekerja maksimal karena pengawas ini dipilih kepala daerah.

"Sementara pengawasan eksternal, baik dari legislatif maupun dari penegak hukum, tidak berjalan efektif karena lembaga-lembaga ini bermasalah. Ada semacam simbiosis mutualisme, dalam arti saling melindungi kepentingan," pungkas dia.(red)

Sumber: Suara Pembaruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DPC PWRI Kota Bengkulu Apresiasi Komitmen Kadis PUPR Kota Bengkulu.

MataLensa, Bengkulu – Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Kota Bengkulu mengapresiasi aksi cepat tanggapny...